Cerita berawal dari Legenda lokal yang bercerita tentang makhluk pendek, kecil berbulu yang sangat terkenal antara penduduk pulau Flores. Kebanyakan orang Flores tentu pernah mendengar cerita tentang sosok aneh yang memiliki tinggi kurang dari 1 meter dengan kepala sebesar buah jeruk (lemon besar berkulit tebal) dan berbulu lebat disekujur tubuhnya. Konon sosok aneh itu masih bisa ditemukan pada saat kedatangan kapal-kapal Portugis.
Ebo Gogo atau Ybu Ngiu menurut penduduk lokal |
ASAtechinfo - Orang Manggarai menyebutnya Ebu Gogo dan orang Ngada menyebutnya Ybu Ngiu. Ebu Gogo adalah makhluk seperti manusia yang muncul pada mitologi penduduk pulau Flores, Indonesia, yang memiliki bentuk yang mirip dengan leprechaun atau peri. “Orang kecil” tersebut dikatakan memiliki tinggi satu meter, ditutupi rambut, periuk-berperut, dan dengan telinga yang menjulur. Mereka berjalan agak kikuk dan sering “berbisik” yang dikatakan sebagai bahasa mereka. Penduduk pulau juga berkata bahwa Ebu Gogo dapat mengulangi apa yang mereka katakan.
Ebu Gogo, “Ebu” berarti “nenek dan Gogo” artinya “dia makan Segalanya”. Salah satu tetua desa mengatakan kepada kami bahwa Ebu Gogo makan segala sesuatu yang mentah, termasuk sayuran, buah-buahan, daging, dan jika mereka punya kesempatan, bahkan daging manusia. Ketika makanan dihidangkan diatas piring kepada mereka mereka juga makan piring.
Detail anatomi dalam legenda sama-sama menarik. Mereka digambarkan sebagai dengan tinggi 1 meter, dengan rambut panjang, perut panci, telinga yang sedikit menonjol, gaya yang sedikit canggung dan lengan dan jari – jari yang panjang.
Ebu Gogo, “Ebu” berarti “nenek dan Gogo” artinya “dia makan Segalanya”. Salah satu tetua desa mengatakan kepada kami bahwa Ebu Gogo makan segala sesuatu yang mentah, termasuk sayuran, buah-buahan, daging, dan jika mereka punya kesempatan, bahkan daging manusia. Ketika makanan dihidangkan diatas piring kepada mereka mereka juga makan piring.
Detail anatomi dalam legenda sama-sama menarik. Mereka digambarkan sebagai dengan tinggi 1 meter, dengan rambut panjang, perut panci, telinga yang sedikit menonjol, gaya yang sedikit canggung dan lengan dan jari – jari yang panjang.
perbandingan dengan Manusia Prasejarah |
Mereka “Ebu Gogo” bersungut-sungut satu sama lain dan bisa mengulangi kata-kata [diucapkan oleh warga] secara lisan. Misalnya, untuk “di sini adalah beberapa makanan’', mereka akan menjawab “di sini adalah beberapa makanan”. Mereka bisa memanjat pohon-pohon yang kecil"Tetapi, di sini intinya, mereka tidak pernah terlihat memegang alat batu atau sesuatu yang seperti itu, sedangkan kita memiliki banyak artefak canggih di tingkat H. floresiensis di Liang Bua.
Para wanita Ebu Gogo memiliki payudara yang sangat terjumbai, begitu lama bahwa mereka akan melemparkan ke bahu mereka. Kita memang pernah bertanya kepada warga jika mereka pernah kawin campur dengan “Ebu Gogo”. Mereka keras menyangkal hal ini, tetapi mengatakan bahwa wanita Baju Labuan (desa di ujung barat jauh Flores, lebih dikenal sebagai LB1) memiliki payudara yang agak panjang.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa cerita rakyat Ebu Gogo mungkin ada hubungannya dengan Homo floresiensis tetapi belum ada bukti kuat yang mendukung teori ini.
Namun, menurut legenda, Ebu Gogo menghilang sekitar 400 tahun yang lalu ketika para penjajah dari Belanda dan Portugis datang.
Hubungan Ebu Gogo dan Hobbits ” Homo floresiensis”.
Richard Roberts, penemu Hobbit, mengatakan, cerita rakyat tentang Ebu Gogo ini kemungkinan nyata. Dia bercerita, "Ketika aku kembali ke Flores awal bulan ini, kita mendengar kisah-kisah paling menakjubkan dari sosok kecil, berbulu, yang mereka sebut Ebu Gogo. Kisah yang mengandung rincian yang paling menakjubkan. Sedemikian rinci sehingga Anda bayangkan mestinya ada sebutir kebenaran di dalamnya.
Ebu Gogo yang diyakini telah punah diburu oleh penduduk manusia Flores. Mereka percaya bahwa pemusnahan, yang memuncak sekitar tujuh generasi yang lalu, dilakukan karena Ebu Gogo mencuri makanan dari tempat tinggal manusia dan menculik anak-anak.
Dalam sebubah artikel di New Scientist (Vol. 186, No 2504) ia menceritakan bahwa pada abad ke-18, warga desa melepas Ebu Gogo untuk menipu mereka menerima hadiah dari serat kelapa yang bisa digunakan untuk bahan pakaian. Ketika Ebu Gogo mengambil serat tersebut di dalam goa yang telah dibuatkan perangkap, masyarakat desa melemparkan api dan membakarnya hidup-hidup. Satu pasangan dibiarkan hidup dan melarikan diri ke hutan terdalam dan hingga sekarang diyakini keturunan mereka masih hidup dipedalaman hutan Flores.
Para wanita Ebu Gogo memiliki payudara yang sangat terjumbai, begitu lama bahwa mereka akan melemparkan ke bahu mereka. Kita memang pernah bertanya kepada warga jika mereka pernah kawin campur dengan “Ebu Gogo”. Mereka keras menyangkal hal ini, tetapi mengatakan bahwa wanita Baju Labuan (desa di ujung barat jauh Flores, lebih dikenal sebagai LB1) memiliki payudara yang agak panjang.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa cerita rakyat Ebu Gogo mungkin ada hubungannya dengan Homo floresiensis tetapi belum ada bukti kuat yang mendukung teori ini.
Namun, menurut legenda, Ebu Gogo menghilang sekitar 400 tahun yang lalu ketika para penjajah dari Belanda dan Portugis datang.
Hubungan Ebu Gogo dan Hobbits ” Homo floresiensis”.
Richard Roberts, penemu Hobbit, mengatakan, cerita rakyat tentang Ebu Gogo ini kemungkinan nyata. Dia bercerita, "Ketika aku kembali ke Flores awal bulan ini, kita mendengar kisah-kisah paling menakjubkan dari sosok kecil, berbulu, yang mereka sebut Ebu Gogo. Kisah yang mengandung rincian yang paling menakjubkan. Sedemikian rinci sehingga Anda bayangkan mestinya ada sebutir kebenaran di dalamnya.
Ebu Gogo yang diyakini telah punah diburu oleh penduduk manusia Flores. Mereka percaya bahwa pemusnahan, yang memuncak sekitar tujuh generasi yang lalu, dilakukan karena Ebu Gogo mencuri makanan dari tempat tinggal manusia dan menculik anak-anak.
Dalam sebubah artikel di New Scientist (Vol. 186, No 2504) ia menceritakan bahwa pada abad ke-18, warga desa melepas Ebu Gogo untuk menipu mereka menerima hadiah dari serat kelapa yang bisa digunakan untuk bahan pakaian. Ketika Ebu Gogo mengambil serat tersebut di dalam goa yang telah dibuatkan perangkap, masyarakat desa melemparkan api dan membakarnya hidup-hidup. Satu pasangan dibiarkan hidup dan melarikan diri ke hutan terdalam dan hingga sekarang diyakini keturunan mereka masih hidup dipedalaman hutan Flores.
Pasangan "Ebu Gogo" ( Illustrasi ) |
"Sebuah letusan gunung di Liang Bua, di bagian barat Flores, mungkin telah membinasakan para hobbit sekitar 12.000 tahun yang lalu, tetapi mungkin juga mereka mampu bertahan dan bermukim di bagian lain pulau. Penduduk desa mengatakan bahwa hobbit terakhir terlihat sebelum desa pindah lokasi, jauh dari gunung berapi, tidak lama sebelum penjajah Belanda menetap di bagian tengah Flores, pada abad ke-19.
Apakah ada hubungan antar Ebu Gogo dan Homo floresiensis, atau mereka adalah spesies terpisah atau manusia modern yang menderita gangguan perkembangan?
Apakah ada hubungan antar Ebu Gogo dan Homo floresiensis, atau mereka adalah spesies terpisah atau manusia modern yang menderita gangguan perkembangan?
Liang Bua |
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.
Homo floresiensis yang dijuluki 'hobbit' dari Indonesia kembali memicu perdebatan. Sebuah penelitian menggunakan pemindaian tengkorak mendukung hipotesis bahwa individu kecil ini bukan spesies terpisah tetapi hanya manusia kerdil.
Perempuan dewasa muda relatif baru namun tidak seperti spesies hominid lain yang dikenal.
Postur setinggi 1 meter dengan panjang kaki relatif terhadap batang tubuh dan tengkorak kecil dibandingkan manusia modern di planet ini.
Bahkan laporan ke Nature menempatkan sebagai spesies baru yang benar-benar tidak terduga yaitu H. floresiensis.
Sejak itu para ilmuwan selalu bentrok. Apakah tengkorak benar-benar mewakili suatu spesies berbeda atau hanya menderita cacat? Mungkin dwarfism atau microcephaly yaitu gangguan perkembangan yang mengakibatkan otak dan tengkorak kepala sangat kecil.
Laporan penelitian terbaru ke Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Ralph Holloway, antropolog dari Columbia University di New York, menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk menguji hipotesis mikrosepali.
Pertama, mereka mengamati ruang tengkorak 21 anak-anak manusia yang menderita microcephaly dan membandingkan dengan pengukuran 118 anak-anak sehat. Para peneliti menemukan pengukuran cerebellar protrusion dan luas relatif frontal dapat digunakan untuk membedakan antara microcephalics dan anak-anak sehat.
Tim kemudian membuat perbandingan yang sama antara endocasts tengkorak 10 manusia microsepalik, 79 manusia sehat, 17 individu Homo erectus, 4 Australopithecus, dan fosil H. floresiensis itu sendiri.
Hasilnya H. floresiensis paling tumpang tindih dengan pengukuran yang dikumpulkan dari mikrosepalik dan Australopithecus. Pengukuran fosil di luar rentang manusia modern normal atau H. erectus tapi jatuh dalam kisaran manusia mikrosepalik sehingga Holloway menyimpulkan H. floresiensis menderita mikrosepali dan bukan spesies terpisah.
Namun para peneliti lain yang telah mempelajari H. floresiensis tidak yakin dengan analisis Holloway.
Perempuan dewasa muda relatif baru namun tidak seperti spesies hominid lain yang dikenal.
Postur setinggi 1 meter dengan panjang kaki relatif terhadap batang tubuh dan tengkorak kecil dibandingkan manusia modern di planet ini.
Bahkan laporan ke Nature menempatkan sebagai spesies baru yang benar-benar tidak terduga yaitu H. floresiensis.
Sejak itu para ilmuwan selalu bentrok. Apakah tengkorak benar-benar mewakili suatu spesies berbeda atau hanya menderita cacat? Mungkin dwarfism atau microcephaly yaitu gangguan perkembangan yang mengakibatkan otak dan tengkorak kepala sangat kecil.
Laporan penelitian terbaru ke Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Ralph Holloway, antropolog dari Columbia University di New York, menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk menguji hipotesis mikrosepali.
Pertama, mereka mengamati ruang tengkorak 21 anak-anak manusia yang menderita microcephaly dan membandingkan dengan pengukuran 118 anak-anak sehat. Para peneliti menemukan pengukuran cerebellar protrusion dan luas relatif frontal dapat digunakan untuk membedakan antara microcephalics dan anak-anak sehat.
Tim kemudian membuat perbandingan yang sama antara endocasts tengkorak 10 manusia microsepalik, 79 manusia sehat, 17 individu Homo erectus, 4 Australopithecus, dan fosil H. floresiensis itu sendiri.
Hasilnya H. floresiensis paling tumpang tindih dengan pengukuran yang dikumpulkan dari mikrosepalik dan Australopithecus. Pengukuran fosil di luar rentang manusia modern normal atau H. erectus tapi jatuh dalam kisaran manusia mikrosepalik sehingga Holloway menyimpulkan H. floresiensis menderita mikrosepali dan bukan spesies terpisah.
Namun para peneliti lain yang telah mempelajari H. floresiensis tidak yakin dengan analisis Holloway.
Peter Brown, paleoantropologdari University of New England |
Peter Brown, paleoantropolog dari University of New England di Armidale, Australia, yang pertama kali menganalisis fosil bersama T. Sutikna dari Indonesian Centre for Archaeology, mengatakan penelitian Holloway gagal mempertimbangkan variabel instrumental yang menunjukkan spesies baru.
"Proporsi endocast sama sekali tidak relevan untuk mengalokasikan fosil ini sebagai spesies floresiensis. Karena ukuran otak relatif terhadap tubuh yang begitu penting dan bahkan tidak dipertimbangkan Holloway," kata Brown.
Sementara Dean Falk, antropolog dari Florida State University di Tallahassee mengatakan bahwa setiap pengukuran yang dilakukan terhadap endocast H. floresiensis yang digunakan Holloway kemungkinan akan terdistorsi dalam fosil kuno.
Falk sebelumnya menggunakan computed tomography (CT) scan tengkorak H. floresiensis dan menyimpulkan fosil itu mungkin species terpisah.
"Kami memiliki kesempatan untuk melihat endocast Homo floresiensis bahwa tim ini menggunakan tehnik dalam kondisi buruk. Kami menjalankan versi penelitian dengan data CT yang jauh lebih akurat daripada data yang dapat dikumpulkan dari endocast yang terdistorsi tersebut," kata Falk.
Holloway mengatakan tidak setuju dengan Brown dan menunjuk bahwa kritik Falk adalah "konyol".
"Kami bekerja dari endocasts yang disediakan oleh Brown dan konstruksi fisik yang dibangun dari Falk. Jika ada masalah dengan materi kami maka ada masalah dengan materi semua orang," kata Holloway.
William Jungers, paleonantropolog dari Stony Brook University di New York tidak yakin dengan kesimpulan Holloway.
"Mereka mencatat kesamaan menarik pengukuran tengkorak Homo floresiensis dan Australopithecus, namun diabaikan untuk membuat argumen microcephaly. Sebuah keputusan aneh," kata Jungers.
Kontroversi.
Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil"). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Source : animalplanet.com wikipedia.org telegraph.co.uk
PENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN
BalasHapusBONUS PUAS MENYAMBUT PUASA
Gratis Bonus Coin Rp. 500.000
|POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10|
Terima SEMUA BANK DI INDONESIA
BANK NASIONAL + BANK DAERAH |
OVO N GOPAY? Bisa!! Buruan
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP
PokerVita Situs Judi Online Terpercaya Memberikan Kemudahan Dalam Bertransaksi Dengan Mudah 24 Jam. Kini Pokervita Juga Menyediakan Deposit Via OVO & Go-Pay loh .. .
BalasHapusMinimal Deposit 10.000
Minimal Withdraw 25.000
Bonus Terbaru Menjelang Puasa
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812-2222-996
www. pokervita .vip